Kisah ini bermula 2 tahun yang lalu, sejak aku
menjadi seorang perantau di Tanah Jawara ini. Jujur, tak pernah terpikirkan
sebelumnya bahwa aku akan menjadi bagian dari keluarga buruh salah satu industri padat
karya di kawasan industri Talagamas ini. Satu-satunya hal yang terpikirkan
olehku untuk menerima job offer ini
adalah CV dan salary - aku dibayar
cukup tinggi di atas teman-temanku karena statusku sebagai seorang lulusan luar
negeri.
Masih
kuingat hari itu. Hari di mana aku menginjakkan kakiku untuk pertama kali
memasuki pabrik itu. Luar biasa, karyawannya ada banyak sekali! Ada 2
pemandangan yang sangat aku nikmati di pabrik ini: momen karyawan pulang kerja
di hari Jumat dan momen pasar tiban saat masuk kerja di setiap pagi. Barangkali
inilah salah satu alasan yang membuatku masih bertahan bekerja di sana: aku
bisa berkontribusi menghidupi belasan ribu karyawan, sebuah impact cukup besar yang bisa diberikan
oleh anak generasi milenial sepertiku dalam meniti karier profesional.
Ilustrasi Karyawan Pulang Kerja di Hari Jumat (tribunnews.com)
Suatu hari aku mendapat sebuah pesan WhatsApp dari seseorang yang mengaku bernama Novi. Tanpa basa-basi, ia langsung memperkenalkan identitasnya sebagai seorang pegiat literasi dari Propinsi Lampung. Kurang lebih 2 bulan sejak ia mengutarakan niatnya untuk merantau ke Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, akhirnya kami dapat saling bertemu di sebuah tenda literasi Forum TBM dalam event Festival Seni Tradisional dan Pasar Rakyat di Mardigras, Perum Citra Raya Bunderan 3. Aku meyakini bahwa pertemuan kami ini bukan suatu kebetulan belaka. Pertemuan ini adalah sebuah pertemuan yang sudah ditakdirkan, dipersembahkan untuk dunia literasi Kabupaten Tangerang. Paling tidak, lahirnya tulisan ini adalah karena dibidani oleh Kak Novi, yang telah mewujudkan salah satu impianku untuk pertama-tama mengenal salah seorang warga lokal yang bertempat tinggal di dalam kawasan industri tempatku sehari-hari mencari nafkah. Warga lokal itu bernama Teh Yayan. Sosoknya terlintas pertama kali di benakku ketika melihat fotonya bersama Panda dan Bunda dari Kedai Kopi Keboen Depan di penghujung tahun 2017 lalu (http://forumtbm.or.id/2017/12/29/salam-literasi-dari-kedai-kopi).
Tuhan
menakdirkan pertemuan pertamaku dengan Teh Yayan di TBM Citra Raya. Aku sendiri
tidak ingat - apakah di pertemuan pertama atau di pertemuan kali kedua - ia
mengutarakan keinginannya untuk membuat sebuah perpustakaan di teras rumahnya.
Melihat kondisi buku-buku yang seringkali cukup kesepian tanpa teman di TBM,
akupun mulai berpikir untuk membuat franchise
TBM - sebuah istilah yang dikenalkan Kak Novi padaku ketika kami berjalan
pulang dari kegiatan layanan gelar buku #CeritaDiKampung Nalagati (http://tbm-citraraya.blogspot.co.id/2018/01/balai-warga-nalagati-dan.html)
di hari itu. Mengetahui rekam jejak dan melihat engagement Teh Yayan di dunia literasi, aku menyambut baik
tawarannya untuk mengadakan kegiatan layanan gelar buku di sana, sekalian
survei lokasi franchise. Liputan
layanan gelar bukunya sudah ditulis oleh relawan TBM kami Putri Sabari (http://tbm-citraraya.blogspot.co.id/2018/02/asa-yang-pantas-diperjuangkan.html).
#CeritadiKampung Talaga Pabuaran, 4 Februari 2018
Menyambung
kisah yang belum dituliskan di tulisan tersebut, singkat cerita hatiku tergerak
melihat anak-anak kampung di kawasan industri tersebut dan menjadi teringat
kembali akan impianku untuk bisa berkontribusi mencerdaskan anak-anak buruh
pabrik. Maka jadilah gayung bersambut, TBM Citra Raya secara resmi telah
membuka TBM franchise #1 nya di Desa
Talaga Pabuaran, di Kawasan Industri Talagamas. Aku percaya bahwa dibukanya TBM di
kampung ini sesuai dengan visi misi TBM untuk memudahkan akses baca di
masyarakat dan secara pribadi dapat menolongku dari beban moral "kejahatan
literasi" - sebuah istilah yang lagi-lagi diperkenalkan oleh Kak Novi
padaku - yang ia artikan "punya buku, tetapi tidak dibaca". Jadi
pengelola TBM itu beban moralnya banyak tahuuu.. Aku bersyukur relawan-relawan TBM kami dapat menyetujui keputusanku.
Kehidupan
seorang buruh itu keras. Bekerja shift
pagi, mereka harus bangun pagi dan berangkat kerja sebelum mengantarkan
anak-anaknya ke sekolah. Bekerja shift
malam, mereka harus tidur siang dan berangkat kerja ketika orang lain
berkesempatan melewatkan quality time bersama
anak-anaknya. Seandainya saja mereka tidak perlu bekerja, anak-anak mereka akan
mendapatkan perhatian lebih, dan aku meyakini bahwa pendidikan - khususnya
pendidikan karakter - selalu dimulai dari lingkungan keluarga. Pemikiran itulah
yang menjadi faktor pendorongku mempunyai impian untuk membantu mencerdaskan
anak-anak buruh, sebuah CSR yang aku berikan kepada mereka sebagai bentuk
timbal balik yang bisa aku berikan sebagai seseorang yang telah memperoleh nafkah berkat hasil jerih payah dan keringat mereka di lantai produksi.
Terinspirasi dari Dek Fazza di SDIT Al Fatih 1 yang hari Sabtu kemarin datang
ke TBM untuk berlatih mengakhiri pidato dengan sebuah pantun, akupun ingin
berlatih mengakhiri tulisan dengan sebuah pantun.
Bapak Ibu kami seorang buruh,
Inilah nasib kami dari semula
Jangan malas dan jangan
mengeluh,
Rajin membaca bukalah
cakrawala
Kabar
terakhir dari TBM Talaga Pabuaran ini, Annisa sang ketua tiba-tiba membuat grup
WhatsApp TBM Citra Raya :3 dan memintaku untuk datang ke sana. Ketika aku
seminggu yang lalu datang, inilah foto-fotoku bersama mereka. Salam literasi,
teman-teman kecilku. Mari kita bergerak, kita bebaskan belenggu orang tua dari
bekerja dan bagikan rasa merdeka dengan banyak membaca.
*TBM Talaga Pabuaran saat ini dikelola oleh Teh Yayan, dengan supervisi dari TBM Citra Raya.
Donasi buku bacaan anak-anak sangat kami harapkan, khususnya yang bisa menginspirasi dan membuka cakrawala anak-anak buruh..
TBM Talaga Pabuaran, 25 Februari 2018
Tangerang, 2 Maret 2018
Akoenya - Kamoe
Comments
Post a Comment