Selamat malam, sahabat TBM Citra Raya!
Inspirasi pertama untuk menulis hari ini datang dari seorang ibu yang datang ke TBM untuk menanyakan informasi mengenai kursus bahasa Jerman di TBM Citra Raya. Sontak, aku pun mengambil beberapa buku literatur berbahasa Jerman untuk menjelaskan beberapa aktivitas kegiatan pembelajaran yang akan didapatkan ketika belajar bahasa Jerman di TBM, misalnya buku paket Studio D A1, kamus klasik Indonesia-Jerman karangan Adolf Heuken, Power Woerterbuch Jerman-Jerman dari Langenscheidt, dan 2 buah komik Naruto berbahasa Jerman - koleksi tatkala dulu pernah mengenyam pendidikan S1 di negara Der Panzer itu.
Inspirasi kedua untuk menulis datang dari sebuah email yang aku forward ke laptop dari HP, yang berisi link menuju sebuah artikel di detik.com. Aku tak lagi ingat kapan aku membaca artikel ini untuk pertama kalinya. Sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari #KidsZamanNow di era teknologi ini, bahwa setiap harinya orang dapat menerima puluhan, ratusan, hingga ribuan informasi - dan sebagai manusia yang terbatas -, cenderung mengalami lupa akan detail informasi tersebut, tidak sampai beberapa hari setelah informasi tersebut didapat. Orang memang harus menulis, agar apa yang diterimanya dapat abadi, dan inilah alasan kenapa aku mencatut sebagian isi artikel berikut untuk dibagikan kepada para sahabat:
"Dukungan pada Literasi
Literasi dalam bentuk apapun harus didukung. Mulai dari literasi di lembaga pendidikan formal, di sekolah, kampus, maupun di komunitas, organisasi dan masyarakat. Namun hal itu juga harus diimbangi dengan dukungan pemerintah secara konsisten. Maka perlu dilakukan sejumlah langkah.
Pertama, perlu dilakukan reformasi pemahaman tentang perpustakaan. Perpustakaan harus dijiwai sebagai kebutuhan dasar yang melekat pada diri kita. Paradigma "perpustakaan adalah kita" harus dipromosikan sejak dini. Orang boleh pandai dan memiliki gelar sampai doktor, namun akan tumpul ilmunya, dan ketinggalan perkembangan ilmu pengetahuan ketika tidak dekat dengan perpustakaan.
Literasi dalam bentuk apapun harus didukung. Mulai dari literasi di lembaga pendidikan formal, di sekolah, kampus, maupun di komunitas, organisasi dan masyarakat. Namun hal itu juga harus diimbangi dengan dukungan pemerintah secara konsisten. Maka perlu dilakukan sejumlah langkah.
Pertama, perlu dilakukan reformasi pemahaman tentang perpustakaan. Perpustakaan harus dijiwai sebagai kebutuhan dasar yang melekat pada diri kita. Paradigma "perpustakaan adalah kita" harus dipromosikan sejak dini. Orang boleh pandai dan memiliki gelar sampai doktor, namun akan tumpul ilmunya, dan ketinggalan perkembangan ilmu pengetahuan ketika tidak dekat dengan perpustakaan.
...
Musuh utama literasi sebenarnya adalah kemalasan. Orang yang mendengar
kata buku, ilmu, dan perpustakaan mengkonotasikan sebagai sesuatu yang
berat dan ribet. Padahal, perpustakaan dan buku adalah pintu pengetahuan
dan jendela ilmu. Pola pikir ini harus diubah, sebab sebaik-baiknya
teman dalam hidup adalah buku, bukan medsos apalagi game. Maka kita harus menghadirkan buku dalam diri kita, baik itu buku cetak maupun buku online. Rumusnya jelas, perpustakaan adalah kita!
Dian Marta Wijayanti PNS pada Dinas Pendidikan Kota Semarang, Mantan Asesor Early Grade Reading Asessment (EGRA) USAID Prioritas"
Dian Marta Wijayanti PNS pada Dinas Pendidikan Kota Semarang, Mantan Asesor Early Grade Reading Asessment (EGRA) USAID Prioritas"
Salah satu hal yang mungkin cukup aku sesali hingga sekarang adalah kelalaianku untuk menulis pengalaman hidupku selama 5 tahun tinggal di Jerman. Saat itu aku masih terlalu "kiri" untuk mengenal dunia literasi, sebuah dunia yang saat itu aku anggap sebagai dunianya orang "otak kanan", yang mana bukan duniaku. Seiring berjalannya waktu, bertemulah aku dengan sebuah kutipan dari Andrea Hirata dalam buku terbarunya yang berjudul Sirkus Pohon: "Fiksi, cara terbaik menceritakan fakta". Fakta yang kutemui di negeri mesin itu akan terasa cukup aneh dan sedikit keras untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat Indonesia, misalnya alasan kenapa orang Jerman yang sudah dewasa diizinkan untuk tinggal serumah dengan temannya yang lawan jenis tanpa ada ikatan suami-istri. Mungkin ada baiknya fakta ini diceritakan oleh orang menggunakan pendekatan fiksi.
Olehku? Aku.. merasa mengalami kesulitan - yang masih seorang penulis pemula - untuk bisa mencapai level "menulis fakta yang dijadikan fiksi" seperti ide yang dicetuskan oleh Pakcik Andrea Hirata. Aku hanya bisa berusaha dengan lebih banyak membaca dan terus berlatih menulis, seperti yang sedang kulakukan pada malam hari ini.
Satu hal yang pasti, aku mulai menyadari bahwa aku dan teman-temanku yang menjadi relawan literasi di TBM ini telah menjadikan TBM sebagai sebuah perpustakaan - pustaka baik dalam arti harafiahnya sebagai sebuah tulisan, maupun sebagai sebuah kegiatan spontan -, buah karya yang boleh dipetik dari aktivitas literasi kami sepanjang tahun ini. Hal ini dikuatkan dengan tulisan mengenai Taman Bacaan Masyarakat Citra Raya yang termuat di majalah CitraRaya Times, sebuah majalah perumahan yang terbit empat kali dalam setahun ini. Ketika membacanya, aku begitu merasakan nafas dan passion yang ada dalam setiap urat nadi kami para relawan. Salah satunya adalah fakta mengenai budaya berbagi Masyarakat Jerman, suatu hal yang terimplementasi dengan baik di Masyarakat Indonesia, dibuktikan dengan terus bertambahnya koleksi buku TBM hingga hari ini.
Aku pun sampai di sebuah kesimpulan bahwa TBM, secara sempit telah menjadi perpustakaan bagi kami, sebuah wahana tempat "kita" para relawan telah menggoreskan tinta dan menghadirkan cerita bagi masyarakat Perum Citra Raya dan sekitarnya, sebagaimana terabadikan pada 2 halaman di majalah berikut.
Penasaran seperti apakah perpustakaan yang telah kami buat?
Perpustakaan ternyata bukanlah mengenai buku-buku orang lain, melainkan perpustakaan sebenarnya adalah mengenai buku-buku kita. Salam membaca dan salam menulis. Goreskan tinta, teruskanlah membuat sejarah.
Tangerang, 18 Juli 2018
der Gruene Baum
Comments
Post a Comment