Dear Pembaca Setia,
Maafkan sudah cukup lama kami tidak menulis. Ngomong-ngomong, ada nggak sih "pembaca setia" blog ini? Apabila ada, kami ingin supaya kamu mengangkat jempolmu dan menuliskan pesan singkat ke kami.. bisa melalui Facebook facebook.com/tbm.citraraya.3, bisa melalui Instagram https://www.instagram.com/tbm_citraraya/, maupun melalui WhatsApp ke wa.me/6282298167872. Percayalah, ini akan membantu kami para penulis untuk kembali menulis dengan tingkat kualitas dan kuantitas yang lebih tinggi!
Kembali ke tulisan. Kali ini kami akan mengabadikan hasil wawancara seorang relawan kami terhadap salah seorang gurunya di Kota Lumpia Semarang:
***
Kunjungan ini berawal dari pertanyaan yang tajam dari seorang guru tersebut kepada saya 4 tahun yang lalu, "Sebentar. Kamu ingin jadi guru ini untuk ke depannya untuk dijadikan batu loncatan atau bagaimana?". Sayangnya saya tidak ingat bagaimana saya menjawab pertanyaan tersebut waktu itu. Hanya satu hal yang pasti, selama kurang lebih 3 tahun setelah hari itu, saya ternyata tidak sampai 20% menjalani kehidupan sebagai seorang guru, sekalipun pada tahun ke-2 bekerja di perusahaan, saya akhirnya berinisiatif mendirikan sebuah taman baca, yang kini dikenal sebagai TBM Citra Raya.
Hari itu, Sabtu, 21 Desember 2019, saya bersyukur akhirnya bisa bertemu kembali dengan guru tersebut dan berkesempatan untuk ngobrol dari hati cukup lama: menerima wejangan dan mengonfirmasi pilihan hidup yang akan saya jalani selamanya. Supaya tulisan ini tidak jadi sepanjang buku novel (toh saya juga belum bisa membuat novel hehe), saya akan coba rangkum intisari wejangan-wejangan dari beliau, siapa tahu juga bermanfaat untuk kalian para pembaca:
Pengambilan Tunjangan Pensiun
Beliau bercerita bahwa beliau mendapatkan 2 pilihan bagaimana pengambilan tunjangan pensiun bisa dilakukan. Cara yang pertama adalah dengan dibayarkan sekaligus, sedangkan cara yang kedua adalah dengan dibayarkan secara bulanan - layaknya gaji yang diterima oleh seorang karyawan. Beliau memilih untuk mengambil tunjangan dengan cara yang kedua.
Dengan cara yang kedua ini pun, beliau kembali dihadapkan pada 2 pilihan, yakni apakah langsung ditransfer ke rekening atau diambil setiap bulannya di kantor. Beliau pun - mungkin akan terlihat aneh bagi sebagian orang - memilih pilihan yang kedua: DIAMBIL SETIAP BULANNYA DI KANTOR.
--> Beliau menjelaskan bahwa dengan mengambil tunjangan pensiun setiap bulan di kantor, beliau memiliki alasan setiap bulannya untuk pergi ke tempat di mana beliau selama puluhan tahun telah mengabdi, di mana di situ terdapat teman-teman seperjuangan beliau dalam mewujudkan sebuah pendidikan yang berkualitas. Beliau percaya (dan telah membuktikannya: nanti akan dituliskan di sub-judul yang kedua) bahwa perjumpaan dengan manusia akan selalu menghadirkan sesuatu yang baru, ini berbeda apabila kita setiap bulannya hanya berjumpa dengan sebuah mesin berbentuk balok yang bernama ATM). Selain arti pentingnya perjumpaan dengan manusia, melalui cerita pengalaman ini, saya juga belajar bahwa orang tidak harus memilih sesuatu yang paling praktis - atau memilih suatu hal berdasarkan suatu kepraktisan yang dinilai oleh orang kebanyakan. Setiap orang mempunyai kebutuhannya sendiri-sendiri, dan ini baik kalau orang akhirnya memilih sesuatu berdasarkan kebutuhannya itu, tidak asal ikut-ikutan dengan kebutuhan/ pilihan orang lain yang belum tentu cocok dengannya.
"Maaf, Tidak Bisa.." ternyata Belum Tentu Jawaban Final
Saya masih ingat betul salah satu gaya mengajar beliau yang khas ketika di kelas, yakni dengan mengetuk-ngetukkan punggung jari telunjuknya ke papan tulis hingga membuat suara yang menunjukkan penekanan pada hal yang beliau ajarkan. Beliau adalah salah seorang Guru Matematika terbaik yang pernah saya miliki dan suatu hari di hari pengambilan tunjangannya itu beliau menceritakan bahwa beliau berkesempatan disapa oleh seorang orang tua murid yang tak dikenalnya. Rupa-rupanya orang tua murid itu mengetahui bahwa beliau adalah Guru Matematika yang baik dan meminta beliau untuk sekiranya dapat meluangkan waktu memberikan les, membantu anaknya memperbaiki nilai Matematika yang pada penerimaan rapor semester ganjil kemarin tidak tuntas. Karena keterbatasan waktu dan tempat yang beliau miliki, pada kesempatan pertama dengan sopan beliau menolak permintaan itu.
Akan tetapi, beliau menceritakan lebih lanjut bagaimana orang tua ini ternyata terus berusaha, tidak menyerah begitu saja. Dengan beberapa pendekatan yang lain, orang tua ini ternyata berhasil meluluhkan hati beliau untuk membantu memberikan les kepada si anak untuk pelajaran yang bagi sebagian besar siswa memang dianggap sebagai momok ini.
--> Dengan rendah hati, beliau mengakui bahwa beliau belajar sesuatu dari kegigihan orang tua ini: tentang bagaimana kita tidak gampang putus asa ketika mendapatkan penolakan, terus berjuang hingga meraih apa yang dicita-citakan, (tentunya dengan mengambil pendekatan-pendekatan yang berbeda) dan ini beliau ceritakan kepada anak-anaknya supaya mereka bisa meniru kegigihan yang seperti inilah yang dibutuhkan dalam berjuang. Saya benar-benar salut dengan beliau karena kepada saya, muridnya, beliau masih saja menyebutkan "saya belajar hal yang baru", sebuah kata-kata sederhana yang acap kali tak pernah disebutkan oleh para pakar dan profesional lain karena mungkin merasa bahwa kepiawaian mereka-mereka ini sudah tak tertandingi. Beliau ini merupakan contoh konkret dari manusia pembelajar sepanjang hayat - hingga masa pensiunnya pun beliau masih mau belajar!
Doa Rosario Lingkungan Tanpa Mewajibkan Hidangan
Selama 22 hari tanpa putus dalam sebulan (putusnya hanya ketika hari Sabtu dan Minggu), lingkungan (lingkungan paroki gereja) beliau setiap harinya menggelar doa rosario yang bertempat di rumah-rumah warga secara bergiliran. Beliau menyampaikan bahwa ternyata tidak semua warga di lingkungan tersebut berkenan untuk menjadi tuan rumah/ ketempatan sebagai tempat dilangsungkannya doa rosario lingkungan. Imbasnya, doa rosario lingkungan seringkali hanya bertempat di rumah warga yang itu-itu saja dan semangat kebersamaan warga pun menjadi kurang terasa (saya agak lupa bagian ini, saya mendapat kesan bahwa ada warga yang menjadi tidak aktif datang - mungkin karena merasa tidak enak bertamu terus-menerus di rumah yang sama, apalagi di rumah warga tertentu ternyata tidak hanya disediakan hidangan ringan, tetapi juga disajikan makan berat).
Beliau menganalisis bahwa kebiasaan menyajikan hidangan kepada tamu di zaman sekarang ini seakan-akan telah berubah menjadi sebuah kewajiban, atau menjadi suatu hal yang apabila tidak dijalankan akan bisa berujung pada sanksi sosial. Ketika beliau mencoba mengemukakan hal ini pada pengurus dan ide untuk membuat aturan bahwa "Tuan Rumah Tidak Perlu Menyajikan Hidangan" dicoba dijalankan, satu per satu warga yang semula tidak mau ketempatan akhirnya mau membuka pintu rumahnya untuk menjadi tempat dilakukannya doa rosario bersama.
--> Beliau tidak secara eksplisit menyebutkan alasan warga tidak mau ketempatan adalah karena alasan ekonomi, tetapi beliau menyampaikan bahwa kita memang juga tidak pernah tahu kerepotan masing-masing rumah tangga apabila dituntut untuk menyajikan hidangan setelah selesai doa rosario. Tentu bagi seorang warga yang sudah sepuh di mana mungkin suami/ istrinya sudah dipanggil Tuhan, perkara menyajikan hidangan bagi para tamu bukanlah suatu hal yang mudah dan hal ini bisa membuat mereka berpikir dua kali untuk bersedia mengajukan diri sebagai tuan rumah doa rosario lingkungan, sekalipun mereka sebenarnya sangat ingin rumahnya dapat digunakan untuk tempat berdoa bersama. Di sini saya belajar bahwa setiap kegiatan sebenarnya punya esensi/ nilai intisari yang tidak boleh dihilangkan dan harus dikedepankan dalam setiap penyelenggaraannya (beliau sempat menceritakan kisah yang lain, misalnya kisah tentang kegiatan reunian teman sekolah yang sarat anggaran namun minim esensi, tapi kisah di sub-judul yang ketiga ini sudah saya anggap mewakili). Bukan hidangannya toh yang penting, melainkan benar-benar doa rosarionya. Bukan kesempatan bermegah diri yang terpenting, melainkan semangat kebersamaan dengan warga lingkungan yang lain yang lebih penting. Mungkin banyak orang yang tidak menyadari bahwa kelebihan yang ada padanya telah membuat orang lain minder dan menjadi enggan untuk berkomunikasi karena sadar akan ketimpangan yang kentara di antara mereka.
--> Saya pribadi juga merasa terharu ketika beliau ternyata juga mengamati perkembangan saya melalui kegiatan-kegiatan yang saya pos di media sosial. Beliau menambahkan bahwa dengan membuat aturan "Tidak Perlu Menyajikan Hidangan", kegiatan doa rosario lingkungan ini juga tidak menimbulkan banyak sampah, khususnya dari plastik sekali pakai maupun plastik yang digunakan untuk membungkus makanan yang berlebih. Bahkan, melalui aturan ini, beliau berhasil membudayakan "bawa tumbler/ gembes sendiri-sendiri ketika bertamu" di lingkungan, dan budaya ini sudah mulai viral hingga di perkumpulan PKK RT beliau.
Akhirnya, hal utama yang saya kagumi dari beliau adalah gaya beliau dalam memberikan wejangan, yang sama sekali tidak terkesan menggurui, walaupun beliau selama puluhan tahun adalah seorang guru. Melalui kisah-kisah pengalaman hidup nyata yang beliau lewati, beliau menyampaikan bahwa beliau mensyukuri terhadap nilai-nilai kehidupan yang boleh ditangkap dan selanjutnya beliau merasa mempunyai tugas untuk membagikan nilai-nilai itu kepada keluarga dan orang-orang terdekat di sekitarnya.
Seakan tak mempunyai keinginan lebih untuk bisa membagikan nilai kehidupan yang luar biasa ini kepada lebih banyak orang lagi.. (yang sebenarnya dimungkinkan di zaman sekarang)
entah karena beliau menyadari keterbatasannya akan teknologi dan waktu?,
atau justru karena beliau yakin akan kelebihannya yang suatu hari bisa menggerakkan muridnya (seperti saya ini) untuk mencoba menuliskan nilai-nilai kehidupan tadi supaya abadi.
Hari itu, di akhir perjumpaan dengan beliau, saya berpamitan dan kembali diyakinkan: "Tidak semua orang memang akan menjadi guru, tapi mereka semua bisa menjadi pendidik". Beliau pun berpesan untuk terus melakukan hal-hal yang membuat kita bahagia, sebagaimana saya juga dapat melihat bahwa pilihan mengabdi selama puluhan tahun di dunia pendidikan telah membawa suatu kebahagiaan yang utuh dalam hidup beliau, kebahagiaan sebagai seseorang yang mempunyai panggilan jiwa sebagai seorang guru pendidik.
***
Salam Literasi! Kami semua merasa senang dan bahagia bisa mengabadikan tulisan ini.
Salatiga, 23 Desember 2019
der gruene Baum
Comments
Post a Comment